Tuesday, August 29, 2006

Aspek Legal Jatigede Lemah

Rabu, 23 Aug 2006

Realisasi Pembebasan Berdasar ”Surat Cinta”

SUMEDANG, (PR).-
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung menyatakan, Projek Waduk Jatigede
sejak dirintis pemerintah tahun 1960-an, tak memiliki landasan hukum yang
jelas. Bahkan realisasi pembebasan dan ganti rugi yang diawali tahun
1980-an, hanya berdasar "surat cinta" Menteri Pekerjaan Umum kepada
gubernur Jabar pada tahun 1974.

Pernyataan tersebut dikemukakan Anggara, S.H. pembela umum dari LBH
Bandung tanpa menjelaskan "surat cinta" dimaksud, ketika berdialog dengan
sejumlah warga Desa Cibogo Kec. Darmaraja Kab. Sumedang, di Sekretariat
Forum Komunikasi Rakyat Jatigede (FKRJ).

Dialog dihadiri Ketua FKRJ, Kusnadi Chandrawiguna dan dua orang aktivis
KPA (Konsorsium Pembaruan Agraria) Bandung. Menurut Anggara, kehadirannya
dalam dialog tersebut dalam rangka advokasi terhadap persoalan di sekitar
Projek Waduk Jatigede.

Di samping berdialog dengan warga Desa Cibogo yang kini sedang menghadapi
proses pendataan ganti rugi, pihaknya juga pada tanggal 14 Mei lalu
melayangkan surat ke Menkimpraswil, Ketua Komnas HAM, DPR RI, gubernur
Jawa Barat, bupati Sumedang, serta pokja provinsi dan kabupaten, intinya
memohon penangguhan pendataan aset penduduk di wilayah calon genangan.

Dijelaskannya, surat tersebut intinya menyikapi statement Pokja Jatigede
pada sebuah pertemuan di Gedung Sate beberapa waktu lalu, di mana terjalin
kesepakatan untuk menghormati prinsip-prinsip HAM dan nilai-nilai anti-KKN
pada pelaksanaan ganti rugi Projek Jatigede. "Seharusnya, mereka (Pokja -
red) membongkar dulu persoalan-persoalan di masa lalu, yang pernah terjadi
di wilayah calon genangan," imbuhnya.

Berdasarkan pengamatan LBH Bandung, lanjut Anggara, realitas di lapangan
dikhawatirkan kejadiannya bertolak belakang dengan komitmen yang
disepakati pada pertemuan dengan tim pokja Projek Jatigede di Gedung Sate
tempo hari. "Tampaknya pemerintah dalam menerapkan nilai-nilai dasar HAM
dan anti-KKN, hanya lips service dalam level wacana saja," keluh Anggara.

Sebagai contoh konkret penderitaan masyarakat di wilayah calon genangan
Projek Jatigede, jelas dia, mereka yang belum mendapat ganti rugi pun
terpaksa terbelenggu aturan yang dikeluarkan gubernur Jawa Barat tahun
1981, di mana mereka tak menikmati fasilitas umum dari pemerintah, seperti
jaringan penerangan listrik, perbaikan jalan, dan sebagainya.

Tampaknya yang perlu mendapat perhatian publik, kata Anggara, yakni
eksistensi "Tim 25" yang berkiprah di lapangan dalam proses ganti rugi.
Persoalannya, seberapa besar keterwakilan warga yang terakomodasi tim
tersebut. Jika pada akhirnya tak mampu menunjukkan bukti keterwakilan
warga, di kemudian hari tak menutup kemungkinan berhadapan dengan
persoalan hukum.

Sementara itu, Ketua FKRJ Kusnadi Chandrawiguna ketika diminta komentarnya
menyatakan, pihaknya merasa prihatin dengan tindakan pemerintah yang sejak
tiga pekan terakhir melakukan pendataan di wilayah Desa Cibogo, terhadap
aset warga yang terkena pembebasan Projek Jatigede.

Pendataan tersebut, dinilainya dilaksanakan tergesa-gesa, tanpa didahului
pengkajian komprehensif terhadap berbagai aspek persoalan di lapangan.
Alasan kekhawatiran pihak FKRJ, menurut Kusnadi, merujuk kepada pengalaman
pahit yang selama ini diderita sejumlah warga calon genangan, baik yang
masih tinggal di tempatnya masing-masing maupun yang dipindahkan ke tempat
lain melalui program transmigrasi.

Dia mencontohkan kasus translok Arinem dan Kolaberes, akibat berbagai
persoalan di tempat baru, kemudian mereka pada pulang kembali ke kampung
halamannya. Masalah sosial yang dihadapi pemerintah dalam konteks
pemindahan penduduk calon wilayah genangan yang meliputi 30 desa dan 5
kecamatan dengaan jumlah penduduk lebih dari tujuh ribu KK, perlu
penanganan secara khusus dan pengkajian lebih mendalam.

Persoalan friksi antara transmigran dengan penduduk setempat pada lokasi
transmigrasi, bukanlah persoalan yang sederhana. Belum lagi masalah
lainnya di tempat baru, seperti kondisi iklim, kesuburan tanah dan
sebagainya, yang mengakibatkan beban persoalan bagi penduduk wilayah calon
genangan Projek Jatigede di kemudian hari. "Dengan demikian, FKRJ pada
prinsipnya tetap menolak kelanjutan Projek Jatigede," tegasnya. (G-25)***

No comments: